Tentunya kita sudah tidak asing lagi dengan karya fenomenal berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka’bah. Karya-karya tersebut sangat tersohor di kalangan publik kita dan berisi wejangan yang bermakna. Lantas, siapa sih tokoh di balik penulisan karya tersebut?


Tidak lain adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau biasa dikenal dengan sebutan Buya Hamka, sosok penulis dan cendekiawan termahsyur di Indonesia. Yuk, kenal lebih dekat sosok Beliau melalui fakta menarik berikut!


1. Hamka mendapatkan pendidikan keagaaman dari surau di Maninjau semasa kecilnya 




Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka lahir di Maninjau, Sumatera Barat, tepatnya di Desa Kampung Molek pada 17 Februari 1908. Oleh karena itu, masa kecil Beliau banyak dihabiskan di Maninjau. Beliau menetap di kampung halaman yang asri dengan teras-teras sawah yang bersusun-rangkap serta panorama Danau Maninjau yang indah.


Karena masa kecil Beliau banyak dihabiskan di Maninjau, cerita Beliau pun mendapatkan pendidikan keagaamaan dari Surau di Maninjau. Di daerah Sumatera, surau merujuk pada suatu bangunan yang dijadikan tempat beribadah umat Islam, fungsinya memang serupa seperti masjid. Surau berperan Menjadi tempat untuk menimba ilmu keagamaan dan membentuk kepribadian Hamka. Beliau tinggal di Maninjau sebelum pindah bersama kedua orangtuanya ke Padang Panjang.


2. Hamka kecil sering kali menyewa buku di bibliotek milik gurunya, Zainuddin Labay El-Yunusy 




Minat baca yang tinggi mulai terasa ketika Hamka mengetahui bahwa gurunya, Zainuddin Labay El-Yunusy, yang membuka Diniyah School pada 1916, baru saja membuka bibliotek. Bibliotek merupakan tempat seseorang bisa menyewa sastra. Mengetahui hal tersebut, hampir setiap tahun Beliau menyewa sastra di bibliotek.


Setelah selesai meminjam buku, Hamka biasanya  menyalin isi buku  versinya sendiri. Dia masih cukup muda saat itu. Tapi dia sudah memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dalam sains juga. Bahkan ia menawarkan diri untuk bekerja di percetakan milik Baguindo Cinaro karena kehabisan uang untuk meminjam buku. Di sela-sela rajin belajar di Diniyah dan Thawalib, ia selalu menyempatkan diri untuk membaca.


3. Potensi menulis Hamka sudah terlihat sejak muda, Khatibul Ummah merupakan buku pertamanya yang berisi pidato teman-temannya





Sebagai seorang pemuda, Hamka belajar retorika dari mimbar, dan mengunjungi mimbar demi mimbar ketika pemimpin SI (Sjarikat Islam) menyampaikan orasi untuk memobilisasi massa. Kita tahu bahwa Hamka sangat mengagumi sosok Chokroaminat, pemimpin SI sejak tahun 1914. Melalui Chokroaminet, Hamuka belajar banyak tentang Islam dan sosialisme.


Ketika ia pindah ke  Jawa untuk menuntut ilmu pada usia 16 tahun, ia memiliki pengetahuan yang luas dan menjadi lebih kompeten dalam mendakwahkan Islam. Ketika dia kembali ke kampung halamannya, dia giat  berpidato di pertemuan besar.


Kemudian, ketika Hamka berusia 17 tahun, ia menjadi penyiar Islam dan anti-komunis. Ia juga tak henti-hentinya merekam ceramah dan khutbah selama berada di  Padang Panjang Surau. kumpulan pidato ini tertuang dalam buku pertamanya yang berjudul Khatibul Ummah.


4. Hamka pernah menjadi wartawan dan editor di beberapa surat kabar 




Hamka adalah seorang penulis sejak kecil. Tidak hanya sebagai penulis, tetapi juga sebagai jurnalis dan editor. Pada 1920-an ia menjadi jurnalis di beberapa surat kabar seperti Pelita Andalas, Call for Islam, Bintang Islam dan Call for Muhammadiyah.


Hamka juga  editor  majalah Progress Society pada tahun 1929. Dia memiliki banyak pengalaman sebagai editor majalah. Selain  majalah Kemajuan Komunitas, ia juga  editor  majalah Pedoman Komunitas, Panji Masyarakat dan Gema Islam.


Di majalah Panji Masyarakat, ia tidak hanya menjadi editor tetapi juga rekan penulis. Konon, Panji Masyarakat merupakan majalah yang sangat terkenal saat itu. Karena Demokrasi Kita terbit buku Bung Hatta.


5. Hamka adalah penulis yang produktif menulis buku dalam berbagai genre 


 Selain sebagai aktivis Islam, Hamka memiliki potensi menulis yang luar biasa  di berbagai genre, termasuk fiksi dan non-fiksi. Novel-novelnya antara lain Di Bawah Perlindungan Ka'bah, Peralihan ke Deli, dan Tenggelamnya  Van der Wijk. Setelah menyelesaikan novel-novel tersebut, ia terus menulis novel, menghasilkan karya-karya seperti 'Di Lembah Sungai Nil', 'Di tepi Dajra' dan 'Pemandian Cahaya di Tanah Suci'.


Hamka terkenal karena perannya sebagai imam pada masa Orde Baru pada tahun 1966. Pada tahun 1975, ia menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tapi bukan berarti dia berhenti menulis. Dia terus menulis karya yang menekankan ulama.


Dari beberapa fakta menarik tentang Buya Hamka di atas, Anda bisa melihat bahwa jalan hidup Buya Hamka dan kemungkinan yang dimilikinya sungguh luar biasa. Tentu saja, banyak pelajaran yang bisa dipetik dari hidupnya, termasuk ketertarikannya pada sains dan pendidikan.